![]() |
Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sumber: Google. |
Beberapa waktu lalu, jagat maya dihebohkan dengan sebuah video singkat dari seorang siswa SMA. Dalam video tersebut, ia secara lugas mengungkapkan kekecewaannya terhadap menu makan siang gratis yang diterimanya dari program pemerintah.
Dengan porsi yang menurutnya kurang memadai, hanya semangka dan kangkung, keluhan siswa ini sontak menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial, khususnya X (dulu Twitter). Video tersebut menyulut diskursus publik mengenai kualitas dan kelayakan program makan siang gratis yang tengah digalakkan.
Namun, yang menarik dan sekaligus menimbulkan tanda tanya besar adalah kelanjutan dari cerita ini. Tak lama setelah videonya viral, siswa bernama Rafi ini justru muncul kembali dengan sebuah video permintaan maaf.
Dalam klarifikasinya, Rafi mengaku telah dipanggil oleh pihak sekolah terkait video keluhannya. Demi menjaga nama baik sekolah, ia merasa perlu untuk menyampaikan permohonan maaf.
Ia juga menyebutkan bahwa porsi makanan yang sebelumnya dikeluhkan telah diganti oleh pihak penyelenggara sesaat setelah ia menyampaikan keluhan.
Lebih jauh lagi, permintaan maaf Rafi tidak hanya ditujukan kepada pihak sekolah atau penyelenggara program. Ia juga secara spesifik menyampaikan permohonan maaf kepada Partai Gerindra.
Permintaan maaf ini muncul lantaran ia sempat menyebut nama Presiden Prabowo dalam video keluhannya yang viral. "Saya di sini ingin mengklarifikasi video yang sedang beredar di media sosial, di sini saya ingin meminta maaf atas kejadian tersebut.
Di mana kejadian tersebut telah diganti oleh pihak panitia penyelenggara dengan porsi yang sesuai. Saya juga ingin meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan, terutama Partai Gerindra," ujar Rafi dalam video permintaan maafnya.
Video permintaan maaf ini, yang diunggah ulang oleh akun @DS_yantie di X, sontak menuai beragam reaksi dari warganet. Banyak yang menyatakan keheranan dan keprihatinan.
Salah satu komentar yang paling menonjol datang dari akun @DS_yantie sendiri, yang menulis, "Dear @Gerindra, seharusnya yang lu suruh minta maaf itu pihak catering yang menyediakan makanan. Kenapa ini jadi siswa yang merekam yang minta maaf? Parah ini, kalau partai sampai mengintimidasi anak sekolah."
Komentar ini bukan tanpa alasan. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang ruang kebebasan berekspresi, terutama bagi para siswa. Bukankah mengkritik, apalagi demi perbaikan, adalah bagian dari proses belajar dan hak setiap warga negara?
Mengapa sebuah keluhan yang sah mengenai program publik justru berujung pada tekanan dan permintaan maaf, bahkan hingga melibatkan pihak partai politik?
Fenomena ini patut menjadi perhatian kita bersama. Jika sebuah keluhan sederhana dari seorang siswa dapat berujung pada "klarifikasi" dan permintaan maaf yang terkesan dipaksakan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Seharusnya, kritik, terutama yang konstruktif, menjadi masukan berharga bagi pemerintah untuk terus memperbaiki program-programnya demi kesejahteraan rakyat.
Alih-alih menyalahkan atau "mengintimidasi" pihak yang mengeluh, fokus seharusnya ada pada substansi keluhan itu sendiri: apakah porsi dan nutrisi menu makan siang gratis sudah memadai? Apakah ada masalah dalam rantai pasok atau kualitas makanan yang diberikan?
Kisah Rafi ini adalah pengingat bahwa kita perlu terus mengawal dan memastikan bahwa program-program pemerintah benar-benar berjalan sesuai harapan dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, tanpa ada ruang bagi pembungkaman kritik. Suara siswa adalah suara rakyat, dan mereka berhak untuk didengarkan, bukan dibungkam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar