![]() |
Anita Rachman, presenter televisi era 80an. Sumber: Google. |
Kabar memilukan datang dari dunia hiburan Tanah Air. Anita Rachman, sosok presenter TVRI yang pernah berjaya di era 80-an, kini terbaring sakit dalam kesendirian.
Kondisinya yang memprihatinkan ini tak luput dari perhatian Peter Gontha, mantan Duta Besar untuk Polandia, yang melalui akun Instagram pribadinya menyuarakan kepedulian dan rasa mirisnya. Ia mengunggah potret lawas Anita Rachman, mengenang masa kejayaan sang primadona televisi, sekaligus menyoroti getirnya realita yang kini dihadapinya: sebatang kara tanpa tunjangan atau perhatian memadai di masa tuanya.
"Ada yang ingat Anita Rachman, wanita Penyiar TVRI yang cantik, MC yang mampan, sekarang sebatang kara di hari tua, tidak ada yang urus, tidak ada tunjangan pemerintah, tidak ada pensioen," tulis Peter Gontha, dengan nada pilu.
Ia bahkan tak segan menyinggung institusi sekelas TVRI hingga Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia (Menkominfo) yang dinilainya abai terhadap nasib para pelopor dunia penyiaran ini.
"Tidak ada kepedulian TVRI, mungkin ada tapi sekedar 1 atau 2 Rp. Mana menkominfo?" gugatnya lagi, menegaskan kekecewaannya terhadap minimnya perhatian dari pihak-pihak yang semestinya peduli.
Kisah Anita Rachman bukan sekadar cerita pribadi yang menyayat hati. Ia adalah cerminan dari problematika besar yang menghantui lansia di Indonesia: minimnya jaminan sosial dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap mereka yang telah berkontribusi bagi bangsa.
"Inilah nasib orang tua di negeri kita. Tidak ada jaminan sosial, apapun jasamu. Semoga mbak Anita Rachman diberi kekuatan. Mari kita menolong," tutup Peter Gontha, menyerukan empati dan aksi nyata.
Seruan ini seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua, terutama bagi pemangku kebijakan.
Fenomena yang dialami Anita Rachman adalah sebuah ironi di tengah upaya pembangunan bangsa. Bagaimana mungkin para individu yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menghibur, mendidik, dan menginspirasi masyarakat di masa lalu, kini justru terperosok dalam kondisi rentan dan tak berdaya? Ini adalah lubang hitam dalam sistem kesejahteraan sosial kita yang harus segera ditambal.
Kondisi seperti ini juga secara langsung berkorelasi dengan munculnya fenomena generasi sandwich di Indonesia.
Generasi sandwich adalah mereka yang harus menanggung beban ganda, yaitu merawat orang tua di masa tua mereka sekaligus membiayai anak-anaknya.
Jika pemerintah tidak serius dalam menyediakan jaring pengaman sosial yang komprehensif untuk lansia, maka beban ini akan terus-menerus dilimpahkan kepada generasi muda.
Mereka yang seharusnya fokus membangun karier dan masa depan keluarganya, justru terpaksa menguras energi dan sumber daya untuk menopang orang tua yang seharusnya sudah mendapatkan kehidupan layak dari negara.
Ini bukan hanya tentang Anita Rachman. Ini tentang ribuan, bahkan jutaan lansia lainnya di pelosol negeri yang mungkin tidak memiliki suara sekeras Peter Gontha.
Mereka adalah kakek-nenek kita, orang tua kita, pahlawan tanpa tanda jasa di bidangnya masing-masing, yang berhak mendapatkan masa tua yang bermartabat.
Pemerintah, melalui kementerian terkait seperti Kementerian Sosial dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, harusnya bergerak lebih cepat dan proaktif.
Dibutuhkan sebuah sistem jaminan sosial yang kuat dan merata, bukan hanya untuk pegawai negeri atau pensiunan BUMN, tetapi juga untuk seluruh lapisan masyarakat, termasuk para seniman, budayawan, dan pekerja informal yang telah berjasa dalam membangun citra dan peradaban bangsa.
Perlu ada skema pensiun atau tunjangan hari tua yang memadai, serta fasilitas kesehatan yang terjangkau dan mudah diakses.
Lebih dari sekadar bantuan sporadis, yang dibutuhkan adalah kebijakan jangka panjang yang berkelanjutan yang menjamin kesejahteraan lansia secara holistik.
Ini mencakup akses ke layanan kesehatan, perumahan layak, dukungan psikososial, dan kesempatan untuk tetap produktif atau terlibat dalam kegiatan sosial sesuai kemampuan mereka.
Dengan demikian, generasi muda tidak perlu lagi khawatir akan nasib orang tua mereka di masa depan, dan terhindar dari jebakan generasi sandwich yang membatasi potensi mereka.
Kisah pilu Anita Rachman adalah panggilan bagi kita semua. Sudah saatnya kita menuntut pertanggungjawaban pemerintah untuk mewujudkan komitmennya dalam melindungi seluruh warganya, dari lahir hingga usia senja.
Mari kita pastikan bahwa tidak ada lagi "Anita Rachman" lainnya yang terabaikan, dan bahwa setiap lansia di Indonesia dapat menikmati masa tua yang tenang, sejahtera, dan bermartabat. Bagaimana menurut Anda, langkah konkret apa yang harus segera diambil pemerintah?